Jumat, 06 Agustus 2010

potensi pembentukan kalus embryozigotik kakao dengan penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin

PEMBENTUKAN KALUS EMBRIOZIGOTIK KAKAO (Theobroma cacao L.) DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH GOLONGAN AUKSIN






LAPORAN TUGAS AKHIR














Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Menyelesaikan Pendidikan Program Studi Kultur Jaringan Tanaman
Jurusan Manajemen Agribisnis




Oleh :

I Wayan Suwardana
NIM K4030605






KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2010
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : I Wayan Suwardana
Nim : D4030605
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Tugas Akhir Saya yang berjudul Pembentukan Kalus Embriozigotik Kakao (Theobroma cacao L.) Dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin, merupakan gagasan dan hasil karya Saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang ditrbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.



Jember,………… 2010

I Wayan Suwardana
NIM D4030613


KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI JEMBER

PENGARUH PEMBERIAN KOMBINASI NAA DAN BAP TERHADAP PEMBENTUKAN KALUS MELON (Cucumis melo L.) SECARA IN VITRO

Telah Diuji pada Tanggal…
Telah Dinyatakan Memenuhi Syarat

Tim Penguji:
Ketua

Ir. Sugiarto
NIP.

Anggota, Anggota,

Dyah Nuning Erawati, SP,MP Ir. Damanhuri, MP
NIP.195902081988111001 NIP.1960502199432004

Mengesahkan: Menyetujui:
Direktur Politeknik Negeri Jember, Ketua Jurusan Manajemen Agroindustri


Ir. H. Asmuji, MM Wenny Dhamayanthi, SE, M. Si
NIP. 131 804 030 NIP. 197108041998022001

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir yang berjudul Pembentukan Kalus Embriozigotik Kakao (Theobroma cacao l.) Dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin
Penyusunan Laporan Tugas Akhir ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui Program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian Tugas Akhir berdasarkan DIPA Sekertariat Jenderal Kementrian Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2006 sampai dengan tahun 2010.
2. Direktur Politeknik Negeri Jember
3. Ketua Jurusan Manajemen Agribisnis
4. Ketua Program Studi Manajemen Agroindustri
5. Ketua Bidang Konsentrasi Kultur Jaringan Tanaman
6. Dyah Nuning Erawati, SP, MP, selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan dan masukannya.
7. Ir. Damanhuri, MP,selaku dosen pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan dan masukannya.
8. Ir. Sugiarto, MP, selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukannya.
9. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberikan curahan kasih sayang, do’a dan dukungan baik materil maupun spiritual.
10. Teman-teman yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam penyusunan laporan ini.
11. Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu dalam penulisan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan Tugas Akhir ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan kelengkapan laporan ini. Akhir kata semoga laporan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


Jember, Agustus 2010

Penulis


Daftar isi

HALAMAN JUDUL i
SURAT PERNYATAAN ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
MOTTO iv
PERSEMBAHAN v
ABSTRACK vi
RINGKASAN vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Lampiran xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.2 Manfaat Penelitian 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Tanaman Kakao 4
2.2 Kultur Jaringan Tanaman Kakao 4
2.3 Media Dasar Kultur Jaringan Murashigge And Skhog 6
2.3.1 Keadaan Fisik Media 8
2,3,2 Asam amino 8
2.4 Embriozigotik 8
2.5 Zat pengatur tumbuh 9
2.5.1 2,4D 11
2.5.2 IBA 11
2.6 hipotesa 12
BAB 3 METODE PELAKSANAAN 13
3.1 Bahan dan Alat 13
3.1.1 Bahan 13
3.1.2 Alat 13
3.2 Metode Penelitian 13
3.3 Pelaksanaan 14
3.3.1 Persiapan Eksplan 14
3.3.2 Inisiasi 14
3.3.3 Inkubasi 14
3.4 Parameter Pengamatan 15
3.4.1 Kedinian Pembentukan Kalus 15
3.4.2 Morfologi Kalus 15
3.4.3 Persentase Kalus 15
3.4.4 Berat Kalus 15
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
4.1 Kedinian Pembentukan Kalus 16
4.2 Morfologi Kalus 18
4.3 Persentase Kalus 20
4.4 Berat Kalus 21
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 22
5.1 Kesimpulan 22
5.2 Saran 22
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta (Pelita perkebunan, 2009).
Perbanyakan kakao umumnya dilakukan secara generatif menggunakan benih dan secara vegetatif menggunakan setek, okulasi, dan sambung pucuk. Cara perbanyakan menggunakan benih terdapat kelemahan yaitu variasi produksi dari setiap individu tanaman. Bahan tanam dapat diperoleh melalui setek cabang ortotrop tetapi jumlahnya terbatas. Pada okulasi dan sambung pucuk diperlukan 2 macam bahan tanam yaitu batang bawah dan batang atas. Untuk penyediaan bahan tanam dalam jumlah besar dijumpai kendala terbatasnya kedua macam bahan tersebut terutama batang atas, (Winarsih, 2009). Dengan teknik kultur jaringan diharapkan kendala itu dapat diatasi sehingga diperoleh bahan tanaman klonal dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat.
Kultur jaringan tanaman kakao telah dicoba dengan menggunakan beberapa jenis eksplan, antara lain pucuk tuna, kultur pucuk meristem, (Esen, 1977 dalam Utami, (2009). Hasil penelitian tanaman kakao melalui kultur jaringan menggunakan eksplan berupa embriozigotik muda (immature). Tehnik embriozigotik sangat menguntungkan bagi para pemulia tanaman kakao, terutama untuk perbanyakan klon-klon dalam waktu yang relatif singkat, (oetami, 2009). Keberhasilan perbanyakan kakao melalui embriozigotik sangat dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah umur fisiologi eksplan. Selain itu eksplan dapat tumbuh dengan baik pada kombinasi media dan zat pengatur tumbuh serta fitohormon yang terkandung didalam eksplan, (Oetami, 2009).
Eksplan yang dapat digunakan untuk embryogenesis somatik adalah bunga. selain bunga buah muda juga dapat dijadikan eksplan untuk embryozigotik. Selama ini dengan menggunakan embryozigotik telah dihasilkan embryozigotik pence et al., (1979). Buah kakao yang digunakan sebagai eksplan adalah buah muda yang berumur 90-120 hari Triastanto, (2005). Embryozigotik yang akan digunakan diisolasi dari bakal biji. Embrio yang dipilih adalah embrio yang berukuran 2-4 mm Triastanto, (2005)
Selain eksplan faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur embryozigotik adalah zat pengatur tumbuh yang digunakan. Eksplan yang ditumbuhkan dalam media yang tepat dapat beregenerasi melalui embryogenesis dan organogenesis (Gunawan, 1988). Dalam kultur jaringan dengan tujuan pengkalusan, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah golongan auksin yang dikombinasikan dengan sitokinin dengan konsentrasi rendah. Auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah jenis IBA dan 2,4D. Peran fisiologis auksin adalah mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xilem dan floem, (Sandra, 2010).
Menurut Gunawan, (1988), zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur. Setiap genotip mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam media dan mempunyai kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda. Hasil penelitian Oetami, (2002) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara IBA dan klon yang diuji pada semua parameter pengamatan eksplan menghasilkan embrio. Respon setiap klon terhadap konsentrasi IBA yang berbeda yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4 mg/l. Respon inisiasi kalus paling baik pada klon ICS 60 diperoleh dari perlakuan IBA 3 mg/l. Sedangkan menurut Fitrianti, (2006) Asam 2,4-D dan Kinetin merupakan zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan tumbuhan. Asam 2,4-D adalah salah satu auksin yang berperan dalam pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman.




1.2 Rumusan Masalah
Kendala yang dihadapi dalam kultur jaringan kakao selama ini adalah produksi, fenol dan lendir yang berlebih dari eksplan vegetatif, sehingga menghambat proses regenerasi (Ampomah, 1992). Hal serupa juga dikemukakan oleh Priyono, (1995) bahwa kandungan fenolik yang tinggi pada eksplan pucuk mengakibatkan terhambatnya proses regenerasi dan pembentukan kalus pada eksplan.
Teknik kultur jaringan kakao selama ini telah dikembangkan dengan berbagai metode misalnya kultur anter dengan kombinasi zat pengatur tumbuh akan tetapi belum berhasil menumbuhkan planlet. Berbagai metode kemudian dikembangkan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh golongan auksin (Winarsih, 2009).
Menurut Fitrianti (2006) Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan khususnya pada tujuan pengkalusan adalah auksin dan sitokinin. Zat pangatur tumbuh yang digolongkan auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan, seperti asam IBA, dan 2,4D yang cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman. Oleh karena itu perlu diuji kembali peranan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin terhadap pembentukan kalus yang optimal pada embryozigotik.

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui pengaruh pemberian jenis auksin yang optimal dalam pertumbuhan kalus yang optimal embriozygotik kakao
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dapat memperbaiki kualitas bibit kakao melalui pengadaan bibit kakao hasil kultur jaringan
1.4.2 Dapat menjadi kajian ilmiah lebih lanjut dalam penelitian tanaman kakao melalui kultur jaringan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kakao ( Theobroma cacao L. )
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10 m (Pelita perkebunan, 2009). kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang, sehingga tanaman ini digolongkan kedalam kelompok Caulifloris, (siregar dkk., 2009).
Buah kakao berupa buni yang daging bijinya sangat lunak Pada waktu muda, biji menempel pada bagian kulit buah, dan apabila telah matang akan terlepas dari kulit buah, (Siregar dkk., 2009). Buah muda kakao (Cherelle) selama 3 bulan pertama akan menjadi Cherelle with, Sunanto, (1992). Buah berbentuk bulat hingga memanjang dan memiliki Endospermia biji yang mengandung lemak dengan kadar yang cukup tinggi, Wikipedia, (2009).

2.2 Kultur Jaringan Kakao
Kultur Jaringan adalah teknik memperbanyak tanaman dengan memperbanyak jaringan mikro tanaman yang ditumbuhkan secara invitro menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah yang tidak terbatas. Yang menjadi dasar kultur jaringan ini adalah teori totipotensi sel yaitu setiap sel organ tanaman akan mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika ditempatkan di lingkungan yang sesuai. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperbanyak tanaman dengan waktu yang lebih singkat (Gunawan, 2003).
Menurut Winarsih, (2009) sekitar satu minggu setelah dikulturkan pada media induksi, embryozigotik mulai membengkak, warnanya menjadi lebih putih dan bagian daun kotilnya menggulung. Seiring dengan membesarnya ukuran explant tersebut kalus mulai tumbuh pada permukaan hipokotil maupun daun kotil.
Kendala yang dihadapi dalam kultur jaringan kakao selama ini adalah produksi kalus, fenol dan lendir yang berlebih dari eksplan vegetatif, sehingga menghambat proses regenerasi kalus, (Ampomah, 1992). Hal serupa juga dikemukakan oleh Priyono, (1995) bahwa kandungan fenolik yang tinggi pada eksplan pucuk mengakibatkan terhambatnya proses regenerasi eksplan.
Pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan kultur adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan, (Erwin, 2009).
Menurut Erwin (2009), umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum dewasa, dan lain-lain.
Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media yang banyak, namun kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya. Sebaliknya semakin besar eksplan, maka semakin besar kemungkinannya untuk membawa penyakit dan makin sulit untuk diterilkan, membutuhkan ruang dan media kultur yang lebih banyak. Ukuran eskplan yang sesuai sangat tergantung dari jenis tanaman yang dikulturkan, teknik dan tujuan pengkulturannya (Erwin, 2009).
Selain organ bunga, eksplan yang dapat digunakan untuk embryogenesis somatik adalah embryiozigotik. Selama ini dengan menggunakan embryozigotik telah dihasilkan embriosomatik pence et al., 1979 dalam Oetami 2009) Buah kakao yang digunakan sebagai eksplan adalah buah muda yang berumur 90-120 hari. Buah muda yang akan digunakan sebagai bahan tanam disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70% selama 10 menit. Embryozigotik yang akan digunakan diisolasi dari bakal biji. Embrio yang dipilih adlah embrio yang berukuran 2-4 mm (Triastanto, 2005)
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengkulturan suatu tanaman adalah lingkungan kultur. Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman, wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur. Ruang kultur memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida dan kelembaban, (Zulkarnain, 2009). Menurut Read, (1990, dalam Zulkarnain, 2009) menyatakan bahwa suhu berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman, dan berkaitan erat dengan perkembangan tanaman yang berada dibawah pengaruh enzim. Selain itu peranan suhu lebih kritis pada kultur in vitro dibandingkan dengan kultur in vivo. Hal itu disebabkan oleh sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap jaringan tersebut. Suhu optimum untuk terjadinya morfogenesis tidak selalu sama untuk setiap spesies tanaman. Menurut Winarsih, (2009) untuk dapat menginduksi kalus tanaman kakao klon Sca 6 membutuhkan suhu 20-240C winarsih dkk, (2002).

2.3 Media Dasar Kultur Jaringan Murashige Skoog
Media Murashige & Skoog (MS) merupakan perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsentrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain, (Erwin, 2009).

Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, sehingga dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (Gunawan, 1988).
Senyawa-senyawa di dalam media MS dapat terjadi pengendapan persenyawaan, ini terlihat jelas pada media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang mengendap adalah fosfat dan besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Ca, K, N, Zn dan Mn. Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung unsur C, Mg, H, Si, Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira 50% dari Fe dan 13% dari PO4+, mengendap, Dalton dkk., (1983 dalam Erwin, 2009). Pengendapan unsur-unsur tersebut mungkin tidak penting, karena unsur-unsur tersebut masih tersedia bagi jaringan tanaman dan pengaruh pengendapannya belum diketahui. Untuk mengatasi pengendapan Fe, Dalton dan grupnya menganjurkan supaya konsentrasi Fe dikurangi sampai 1/3 dengan EDTA yang tetap (Erwin, 2009).
Menurut Erwin, (2009) Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam-garam anorganik, senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Perbedaan komposisi dan bentuk fisik media biasanya sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan. Meskipun demikian, media yang telah diformulasikan tidak hanya berlaku untuk satu jenis eksplan dan tanaman saja. Beberapa jenis formulasi media bahkan digunakan secara umum untuk berbagai jenis eksplan dan varietas tanaman, seperti media MS.




2.3.1 Keadaan Fisik Media.
Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah medium padat, medium semi padat dan medium cair. Keadaan fisik media akan mempengaruhi pertumbuhan kultur, kecepatan pertumbuhan dan diferensiasinya. Keadaan fisik media ini mempengaruhi pertumbuhan antara lain karena efeknya terhadap osmolaritas larutan dalam media serta ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan (Gunawan, 1998).
2.3.2 Asam Amino
Asam amino adalah salah satu zat organik yang biasanya ditambahkan dalam medium kultur jaringan asam amino selain sukrosa, zat pengatur tumbuh dan myo inositol, (Hendaryono, 1994) Asam amino memiliki peranan penting untuk pertumbuhan diferensasi kalus Hendaryono dan wijayanti, (1994). Asam amino merupakan sumber N organik yang dapat lebih cepat diserap oleh eksplan Gunawan, (1992). Asam amino memiliki N yang melekat pada posisi karbon-α, Gardner dkk., (2008). Menurut sampkin dkk.,(1970 dalam Gunawan (1994). dengan penambahan asam amino terjadi perpanjangan sel pada kultur sel Sycamore.
Beberapa jenis asam amino dinyatakan memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan eksplan. Seperti yang dilaporkan oleh liu, (1981 dalam Zulkarnain 2009) L-asparagine digunakan untuk merangsang regenerasi dalam kultur jaringan jagung. Hal serupa juga dinyatakan oleh Zulkarnain, (2009) L-glutamat adalah salah satu asam amino atau amida yang sering memberikan hasil positif bagi pertumbuhan kultur jaringan tanaman.

2.4 Embryozigotik
Embryozigotik adalah perkembangan embrio lengkap dari penyatuan gamet jantan dan gamet betina, Hertman dkk., (1990 dalam Zulkarnain 2009). Apabila dikembangkan dalam kultur jaringan makaakan mengalami perkembangan melalui tahapan oktan, globular, awal hati, hati, torpedo, dewasa.
Embrio yang digunakan dalam kultur embrio, tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kalus semata, sebaliknya embrio tersebut diharapkan dapat menjaga integritas dan kemampuan tumbuh embrio menjadi tanaman lengkap. Menurut Gunawan, (1992) kultur embrio ditujukan untuk membantu perkecambahan embrio menjadi tanaman lengkap. Problema inkompatibel post zygotic yang diatasi dengan kultur embrio kadang-kadang dikenal dengan istilah embrio rescue walaupun keberhasilan menolong embrio masih tergolong sangat rendah, akan tetapi sudah mampu menghasilkan tanaman lengkap. Pada berbagai tingkat kematangan embrio dapat digunakan sebagai eksplan tergantung dari jenis tanaman dan tujuannya.
Eksplan merupakan faktor penting yang mempengeruhi keberhasilan kultur. Untuk memulai sistem kultur jaringan yang baru dengan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula, sering kali menghendaki analisis yang sistemis terhadap potensi dari setiap tipe jaringan. Menurut Oetami, (2009) tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam memilih bahan eksplan adalah genotif, umur dan kondisi fisiologis tanaman induk.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Menurut Gunawan (1988 dalam winarsih (2002) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan embrio somatik adalah tingkat perkembangan embryozigotik yang dikulturkan. Tingkat perkembangan eksplan (umur eksplan) mempengaruhi tipe serta morfogenesis

2.5 Zat Pengatur Tumbuh Auksin
Zat pengatur tumbuh pada tanaman (plant regulator) adalah senyawa organik bukan hara (nutrient), yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), manghambat (inhibit), dan dapat merubah fisiologi tumbuhan (Abidin, 1994). Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan dalam media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan. Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan ke dalam media kultur sangat tergantung dari jenis eksplan yang dikulturkan dan tujuan pengkulturannya. Konsentrasi hormon pertumbuhan optimal yang ditambahkan ke dalam media tergantung pula dari eksplan yang dikulturkan serta kandungan hormon pertumbuhan endogen yang terdapat pada eksplan tersebut. Komposisi yang sesuai ini dapat diperkiraan percobaan-percobaan yang telah dilakukan sebelumnya dibarengi percobaan untuk mengetahui kompisisi hormon pertumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan arah pertumbuan eksplan yang diinginkan, (Erwin, 2009).
Menurut Hendaryono, (1994) dan Fitrianti, (2006) dalam kultur in vitro terdapat 2 golongan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan dalam zat pengatur tumbuh (ZPT) yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah suatu kultur. Auksin sintetik terdiri dari IAA, IBA, NAA dan herbisida yang bersifat auksin.
Sandra, (2010). Menyatakan bahwa peranan Auksin dalam aktifitas kultur jaringan sangat dikenal sebagai hormon yang mampu berperan menginduksi terjadinya kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorofil dalam kalus, mendorong proses morfogenesis kalus, membentuk akar atau tunas, mendorong proses embriogenesis, dan auksin juga dapat mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman.
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan organogenesis. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya tergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen, kemampuan auksin mensintesis auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan, (Sandra, 2010).
Santoso dan Nursandi, (2001) menambahkan auksin sebagai zat pengatur tumbuh berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman yaitu :
a. Auksin dapat meningkatkan kandungan asam nukleat sel karena auksin bekerja pada proses replikasi DNA dan karena DNA mempunyai sifat auto katalitik maka auksin berpengaruh memacu kemampuan DNA agar sifat auto katalitiknya berfungsi
b. Auksin mempengaruhi protein membran sehingga sintesis protein dan asam nukleat dapat lebih cepat
c. Auksin dapat mempengaruhi pembentukan akar baru, pembelahan sel dan pembentukan tunas
Menurut Wattimena (1998, dalam 1998), auksin alamiah yang sering terdapat pada tumbuhan adalah IAA (Asam 3-indol Asetat). IAA disintesis dari triptopan pada bagian tanaman tertentu yaitu primordial daun, daun muda dan biji yang sedang berkembang. Sedangkan auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah IBA (Asam – Indol Butirat) dan 2,4 D (2,4Diklorofenoksiasetat).

2.5.1 2,4 D (2,4-Diklorofenoksiasetat).
Menurut Ariwahono, (2010) 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) adalah herbisida sistemik yang umum untuk digunakan dalam mengontrol gulma yang tumbuh dalam tanaman pertanian. Selain itu, 2,4-D dikenal sebagai salah satu jenis auksin sintetik. 2,4-D merupakan jenis auksin sintetis yang sering digunakan dalam kultur jaringan, (Abidin, 1982). Dalam konsentrasi rendah 2,4-D dapat berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh yang mampu merangsang dan menggiatkan pertumbuhan tanaman. Hal serupa juga diungkapkan oleh Fitrianti, (2006) Asam 2,4-D adalah salah satu auksin yang berperan dalam pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman. 2,4 Dmemiliki Rantai yang mempunyai gugus karboksil dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen akan memberikan aktivitas yang optimal (Abidin, 1985).
Sebagai salah satu senyawa yang masuk ke dalam grup hormon auksin, maka 2,4-D dapat bekerja maksimum untuk pembelahan dan pembesaran sel serta pembentukan akar stek bila diberikan dalam konsentrasi rendah. Herbisida jenis 2,4 -D ini tergolong ideal, karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya : relatif murah, tidak meninggalkan racun pada hewan, (Manurung, 2010).


2.5.2 IBA (Asam 3 – Indol Butirat)
3-indol asam butirat (-indol-3-butanoat asam 1H, IBA) adalah Kristal putih padat, dengan rumus molekul C 12 H 13 NO 2. IBA merupakan salah satu hormon tanaman dalam golongan auksin yang sering digunakan pada pengakaran tanaman hortikultura. IBA meleleh pada 125 ° C dan tekanan atmosfir 15 psi dan terurai sebelum dipanaskan. Untuk dapat menggunakan, harus dilarutkan dalam alkohol 75%, kemudian dilarutkan kembali dengan air steril, karena IBA tidak dapat dilarutkan dengan air. Jenis auksin ini merupakan auksin sintetis, karena terbuan dari daun dan biji jagung, William, (1999).


2.6 Hipotesa
Terdapat 1 jenis auksin dengan 1 konsentrasi yang mempengaruhi pembentukan kalus embryozigotik kakao secara optimal

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Politeknik Negeri Jember di Jember, penelitian akan dimulai pada bulan Januari 2010 sampai dengan Juli 2010.

3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah : Media B5 ((NH4)2SO4, KNO3, CaCl2 . 2H2O, MgSO4 . 7H2O, NaH2PO4 . H2O, FeSO4 . 7H2O, Na2EDTA, MnSO4 . H2O, CoCl2 . 6H2O Myi-inositol, Niacin, Pyridoxine-HCl, Thiamine-HCl, Sucrosa, ZnSO2 . 7H2O, H3BO3, KI, Na2MoO4 . 2H2O, CuSO4.5H2O), zat pengatur tumbuh (IBA) 2,4 D (2,4-Diklorofenoksiasetat), eksplan (buah kakao yang berumur 90-120 hari), Spiritus, Korek api, dan Alkohol, almunium foil dan aquades steril.
3.2.2 Alat
Alat-alat yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini adalah : pipet, Erlenmeyer, gelas ukur, autoklaf, botol kultur, Pinset steril, Pisau steril, laminar, lampu Bunsen, Petridis, pipet, Erlenmeyer, gelas ukur, autoklaf, botol kultur.

3.3 Metode Penelitian
Penelitian disusun menurut rancangan acak lengkap (RAL) faktor tunggal dengan 6 perlakuan pemberian zat pengatur tumbuh golongan auksin (A) dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan penelitian meliputi :
A1 = MS + IBA 2 ppm
A2 = MS + IBA 3 ppm
A3 = MS + IBA 4 ppm
A4 = MS + 2,4D 2 ppm
A5 = MS + 2,4D 3 ppm
A6 = MS + 2,4D 4 ppm
3.4 Pelaksanaan
3.4.1 Persiapan eksplan
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari buah kakao yang berumur 90 – 120 hari. Buah yang akan digunakan untuk mengantisipasi adanya serangan hama atau pathogen. Satu minggu sebelum inisiasi dilakukan penyemprotan dengan fungisida dan bakterisida pada konsentrasi 1 %.
3.4.2 Persiapan media
Media yang digunakan adalah media B5 yang ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh IBA dan 2,4D sesuai dengan perlakuan. Media dituangkan kedalam botol kultur. Setiap botol diisi 20 ml media. Kemudian media disterilkan selama 20 menit dengan menggunakan autoklaf dengan suhu 121oC dan tekanan 15 Psi.
3.4.3 Inisiasi
Sebelum melakukan kegiatan inisiasi, buah muda yang akan diinisiasi disteril terlebih dahulu. Buah muda dibersihkan dengan menggunakan detergen dan dicuci dengan air hingga bersih. Kemudian kupas kulit buah muda kakao dengan menggunakan pisau. Kemudian bawa buah muda yang telah dikupas kedalam laminar. Cuci eksplan dengan aquadest steril kemudian letakkan eksplan diatas Petridis. Siapkan alat-alat dan bahan yang dibutuhkan dalam inisiasi.
Celupkan eksplan kedalam alcohol 90 % kemudian dibakar (langkah ini diulang sebanyak 2-3 kali). Setelah api padam, ambil eksplan dengan menggunakan pinset. Congkel eksplan pada bagian biji eksplan, kemudian ambil embrio dengan menggunakan pisau. Bersihkan lendir yang menempel pada embrio. Tanam embrio pada media yang telah disiapkan. Kemudian tutup media dengan menggunakan almunium foil.
3.4.4 Inkubasi
Setelah eksplan selesai diinisiasikan pada media, eksplan diinkubasikan diruangan gelap selama 8 minggu. Ruang inkubasi harus dalam keadaan gelap selama 24 jam dengan suhu 230C.


3.5 Parameter Pengamatan
3.5.1 Kecepatan eksplan dalam pembentukan kalus (hari)
Pengamatan bertujuan untuk mengetahui kecepatan berkalus eksplan pada tiap-tiap perlakuan. pengamatan dilakukan dengan cara mengamati perubahan eksplan yang menunjukkan tanda-tanda terbentuknya kalus.
3.5.2 Persentase pembentukan kalus (%)
Pengamatan bertujuan untuk mengetahui eksplan yang membentuk kalus setelah 21 hari setelah tanam dengan cara menghitung persentase terbentuknya kalus pada tiap-tiap perlakuan. Pengamatan ini dilakukan pada minggu ke 8 setelah tanam.
3.5.3 Morfologi kalus yang dihasilkan
Pengamatan bertujuan untuk mengetahui jenis kalus yang dihasilkan pada tiap-tiap perlakuan. pengamatan dilaksanakan dengan cara mengamati kekompakan dan keremahan kalus yang dihasilkan pada tiap-tiap perlakuan. Morfologi kalus dapat diamati dengan cara melihat bentuk butiran kalus yang terbentuk. Pengamatan ini lakukan pada minggu ke 8 setelah tanam.
3.5.4 Berat Kalus (Mg)
Pengamatan bertujuan untuk mengetahui berat kalus yang dihasilkan dalam tiap-tiap perlakuan. pengamatan dilakukan dengan cara menimbang eksplan dengan menggunakan timbangan digital. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 8 setelah tanam.
BAB 4 HASIL

4.1 Kedinian Pembentukan Kalus
Kedinian pembentukan kalus adalah kemampan atau kecepatan eksplan dalam membentuk kalus.kedinian pembentukan kalus dihitung berdasarkan kecepatan eksplan menunjukkan tanda-tanda membentuk kalus.

Tabel 4..1.1 Hasil Analisis Sidik Ragam Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin Terhadap Kedinian Pembentukan Kalus Embryozigotik Kakao
SK db JK KT Fhitung Ftabel
0.01 0.05
PERLAKUAN 5 322.30 64.46 3.03 * 3.90 2.62
GALLAT 24 510.40 21.27
TOTAL 29 832.70
KK39.66%
Keterangan * = Berbeda Nyata

Besdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 4.1.1), dari 6 perlakuan yang diujikan manunjukkan nilai F hitugn lebih besar dari F tabel 0,05 dan lebih kecil dari F tabel 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa golongan auksin yang ditambahkan pada media MS dengan konsentrasi yang berbeda-beda memberikan respon berbeda sangat nyata.

Tabel 4.1.2 Rerata Kedinian Pembetukan Kalus Embryozigotik Kakao Akibat Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin
Perlakuan Rerata kedinian berkalus (hari)
A1 11.00 a
A2 11.40 a
A3 10.20 a
A4 13.50 b
A5 11.67 a
A6 12.00 a
Keterangan : nilai yang dilanjutkan dengan huruf yang sama menunjukkan respon berbeda tidak nyata menurut uji JND 5%
Eksplan yang mampu membentuk kalus rata-rata tumbuh pada kisaran hari ke 10 – 12. Hanya ada satu perlakuan yang menunjukkan awal pembentukan kalus pada hari ke 14 yaitu perlakuan A4. Perkembangan yang optimal rata-rata ditemukan pada perlakuan media MS dengan penambahan IBA. Kalus embryozigotik kakao akan mulai terbentuk antara hari ke 9-12, akan tetapi kalus belum terlihat jelas, (Winarsih, 2002). Kalus yang muncul melebihi 12 hari umumnya perkembangannya kurang bagus, Winarsih, (2009).

4.2 Morfologi Kalus
morfologi kalus adalah bentuk fisik kalus yang dihasilkan pada tiap-tiap perlakuan yang dilihat berdasarkan bentuk, warna dan tekstur kalus. Untuk mengetahui perbedaan kalus dalam tiap-tiap perlakuan dilakuan analisis berdasarkan scoring atau uji tanda. Skor diberikan berdasarkan warna, tekstur dan warna serta arah pertumbuhan kalus.
4.2.1 Perhitungan uji tanda berdasarkan warna tekstur dan arah pertumbuhan kalus perlakuan A1 yang dibandingkan dengan perlakuan A6
n1 = Positif
n2 = Negatif
X2 = (n1-n2)2 /n1+n2
= 9/5 = 1,8
X tabel = 3,90
X2 1,8 ≤ 3,90 = NS

4.2.2 Perhitungan uji tanda berdasarkan warna tekstur dan arah pertumbuhan kalus perlakuan A2 yang dibandingkan dengan perlakuan A6
n1 = Positif
n2 = Negatif
X2 = (n1-n2)2/n1+n2
= 9/5 = 1,8
X tabel = 3,90
X2 1,8 ≤ 3,90 = NS


4.2.3 Perhitungan uji tanda berdasarkan warna tekstur dan arah pertumbuhan kalus perlakuan A3 yang dibandingkan dengan perlakuan A6
n1 = Positif
n2 = Negatif
X2 = (n1-n2)2 /n1+n2
= 9/5 = 1,8
X tabel = 3,90
X2 1,8 ≤ 3,90 = NS

Dilihat dari hasil uji tanda morfologi kalus pada tiap-tiap perlakuan, dari 6 perlakuan yang diujikan menyatakan berbeda tidak nyata. Walaupun kalus yang dihasilkan memiliki ciriyang berbeda, akan tetapi hasil scoring dari tiap-tiap perlakuan menghasilkan selisih nilai lebih rendah dari X tabel.

4.3 Persentase pembentukan Kalus
Persentase kalus dihitung berdasarkan hasil penimbangan berat kalus yang terbentuk dibandingkan dengan total berat akhir eksplan sebelum dikurangi dengan berat kalus.

Tabel 4.3.1 Hasil Analisis Sidik Ragam Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin Terhadap persentase Pembentukan Kalus Embryozigotik Kakao
SK db JK KT Fhitung Ftabel
0.01 0.05
PERLAKUAN 5 1805.90 361.18 6.87 ** 3.90 2.62
GALLAT 24 1261.39 52.56
TOTAL 29 3067.30
KK 42.80 %
Keterangan : ** = Berbeda Sangat Nyata

. Dari hasil sidik ragam pada tabel 4.3.1 menunjukkan setiap perlakuan menunjukkan respon berbeda sangat nyata, dengan koefisien keragaman 42,80 %. Pada pengamatan ini kalus yang terbentuk sudah dapat dilihat bentuk, warna dan arah pertumbuhannya.
Tabel 4.3.2 Rerata persentase Pembetukan Kalus Embryozigotik Kakao Akibat Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin
Perlakuan Rerata Persentase Pembentukan Kalus (%)
A1 26.81 d
A2 15.90 b
A3 19.32 c
A4 10.55 a
A5 20.22 c
A6 8.80 a
Keterangan : nilai yang dilanjutkan dengan huruf yang sama menunjukkan respon berbeda sangat nyata menurut uji JND 5%
Pada minggu ke 8 semua perlakuan menunjukkan pengkalusan. Setiap perlakuan menghasilkan kalus dengan persentase yang berbeda-beda. Kalus yang dihasilkan tiap-tiap perlakuan berkisar antara 8 – 26% persentase tertinggi ditunjukkan pada perlakuan A1 yaitu 26,8 % dan persentase berkalus paling rendah ditunjukkan pada perlakuan A6. Berdasarkan notasi perlakuan A6 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A4 dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan A1, Sedangkan perlakuan perlakuan A2 dan A3 menunjukkan berbeda nyata dengab perlakuan A1.

4.4 Berat Kalus
Berat kalus dihitung dari kalus yang terbentuk pada setiap perlakuan. Kalus ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Kalus dipisahkan dari eksplan yang belum membentuk kalus.
Tabel 4.4.1 Hasil Analisis Sidik Ragam Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin Terhadap Berat Kalus Embryozigotik Kakao
SK db JK KT Fhitung Ftabel
0.01 0.05
PERLAKUAN 5 1971.50 394.30 3.57 * 3.90 2.62
GALLAT 24 2648.80 110.37
TOTAL 29 4620.30
KK 56.18 %
Keterangan : * = Berbeda Nyata
Berdasarkan analisis sidik ragam pada tabel 4.4.1 menunjukkan bahwa F hitung lebih besar dari F tabel 1%. Hal ini menyatakan bahwa perlakuan yang diujikan menunjukkan berbeda nyata. Dari hasil analisis pada tabel 4.4.1 maka perlu dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Jarak Nyata Duncan (DNJ).
Tabel 4.4.2 Rerata Berat Kalus Embryozigotik Kakao Akibat Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin
Perlakuan Rerata berat kalus embryozigotik
A1 29 a
A2 24 ab
A3 26.2 ab
A4 7 b
A5 12 b
A6 14 b
Keterangan : Nilai yang dilanjutkan dengan huruf yang sama menunjukkan respon berbeda sangat nyata berdasarkan uji JND 5%

Berdasarkan hasil analisis rerata pada tabel 4.4.2 menunjukkan bahwa perlakuan yang memiliki berat kalus ditunjukkan pada perlakuan A1 dengan nilai rerata berat kalus 29 gram. Perlakuan A1 berbeda nyata tidak nyata dengan perlakuan A2 dan perlakuan A3 serta berbeda nyata dengan perlakuan A4, A5, dan A6.

BAB 5 PEMBAHASAN

4.1 Kedinian Pembentukan Kalus
Hasil pengamatan pada hari ke awal pembentukan kalus pada hari ke 9-12 menunjukkan respon positif dari tiap tiap perlakuan. Sekitar 90% eksplan yang diinisiasi telah menunjukkan tanda-tanda membentuk kalus, walaupun respon setiap eksplan berbeda-beda. Menurut Winarsih, (2003 dalam Oetami, 2009) menyatakan bahwa periode ini merupakan terbentuknya kalus. Kalus yang terbentuk belun terlihat jelas.
Hasil pengamatan rerata kedinian berkalus eksplan, menunjukkan bahwa eksplan yang mampu membentuk kalus rata-rata tumbuh pada kisaran hari ke 9 – 12. Hanya ada satu perlakuan yang menunjukkan awal pembentukan kalus pada hari ke 14 yaitu perlakuan A4. Kalus embryozigotik kakao akan mulai terbentuk antara hari ke 9-12, akan tetapi kalus belum terlihat jelas, (Utami, 2009). Perkembangan yang optimal rata-rata ditemukan pada perlakuan media MS dengan penambahan IBA. Bahkan Pada hari ke 12 telah ditemukan eksplan yang telah 100% membentuk kalus, walaupun kalus belum dapat terlihat jelas.
Berdasarkan tabel 4.1.2 terlihat bahwa perlakuan menunjukkan respon yang berbeda-beda. Pada 3 level IBA terlihat pertumbuhan eksplan sangat tinggi, >90%. Selain itu eksplan yang membentuk kalus pada perlakuan MS dengan penambahan IBA terlihat cukup tinggi. Berbeda dengan 3 level 2,4D jumlah eksplan yang memberi respon positif lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan media MS dengan penambahan IBA. Selain itu sekitar 30 % dari eksplan yang ditanam pada perlakuan ini tidak mengalami perkembangan dan bahkan mati. Auksin dapat berpengaruh pada pemanjangan sel, akan tetapi pada konsentrasi tinggi malah berfungsi sebaliknya, (Ariwahono, 2010). Menurut Raharja, (1994) bahan yang digunakan harus dengan konsentrasi yang tepat. Kelebihan konsentrasi dapat menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah diuji lanjut dengan menggunakan Jarak Nyata Duncan (JND) 5%, dapat dilihat perakuan yang menunjukkan berbeda sangat nyata. Pertumbuhan paling cepat ditunjukkan oleh perlakuan A3 yaitu media MS dengan penambahan 4 ppm IBA. Menurut winarsih, (2002) setiap klon menampilkan respon yang berbeda-beda pada setiap perlakuan, hasil terbaik diperoleh pada perlakuan klon ICS60 dengan penambahan 3 ppm IBA. Respon paling lambat ditunjukkan oleh perlakuan A4 media MS dengan penambahan 2 ppm 2,4D. menurut Sandra, (2009) pada konsentrasi tinggi 2,4D dapat berubah peranan menjadi herbisida. Terhambatnya pembentukan kalus pada perlakuan dengan penambahan 2,4 D diperkirakan diakibatkan oleh ketidak mampuan eksplan menyerap unsur hara pada media, terutama zat pengatur tumbuh yang tersedia.selain itu karena konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tinggi sehingga dan bersifat herbisida, dan dapat menekan pertumbuhan sel-sel pada eksplan yang akhirnya mongering dan mati.

4.2 Morfologi Kalus
Dari hasil identifikasi ciri-ciri kalus, setiap perlakuan menghasilkan kalus dengan ciri-ciri yang berbeda-beda. Pada perlakuan A1 kalus yang dihasilkan terlihat berwarna kuning kehijauan dan bertekstur kompak, sedangkan kalus pada perlakuan A4, A5 dan A6 cenderung berwarna putih dan bertekstur semi remah. Berdasarkan uji tanda, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 6 perlakuan yang diujikan tidak ada yang menunjukkan berbeda nyata.
Dari ciri-ciri kalus yang terbentuk, setiap perlakuan menunjukkan pembentukan kalus yang arah pertumbuhannya berbeda-beda. Kalus yang terbentuk pada perlakuan IBA rata-rata menunjukkan ciri-ciri pembentukan embrio. Menurut Winarsih, (2002) kalus yang terbentuk selanjutnya mengalami pendewasaan yang dicirikan oleh bertambahnya volume kalus dan warna kalus yang semula berwarna putih menjadi kuning krem hingga kecoklatan. Sedangkan pada perlakuan 2,4D kalus yang terbentuk masih berwarna putih dan ukuran kalus tidak bertambah. Hal ini dapat diartikan bahwa kalus yang dihasilkan tidak berpotensi menjadi embrio.




4.3 Persentase pembentukan Kalus
. Persentase kalus dihitung dari total berat akhir kalus dari seluruh ulangan perlakuan dikurangi berat kalus yang dihasilkan. Pada pengamatan mingu ke 8 dapat dilihat dengan jelas tekstur, diameter dan warna dari kalus yang terbentuk. Dilihat dari hasil pengamatan minggu ke 8 semua perlakuan menunjukkan pengkalusan. Setiap perlakuan menghasilkan kalus dengan persentase yang berbeda-beda. Kalus yang dihasilkan tiap-tiap perlakuan berkisar antara 8 – 26% persentase tertinggi ditunjukkan pada perlakuan A1 yaitu 26,8 % dan persentase berkalus ter rendah ditunjukkan pada perlakuan A6.
Bila dikaitkan dengan kedinian terbentuknya kalus pada tabel 4.1.2 perlakuan A4 memiliki perkembangan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan A6. Walaupun dalam pembentukan kalus lebih lambat dibandingkan perlakuan 2,4D lainnya, persentase kalus yang dihasilkan pada perlakuan ini lebih tinggi. Lambatnya pembentukan kalus pada perlakuan A4 diakibatkan oleh kurang tersedianya zat pengatur tumbuh yang tersedia didalam media yang dibutuhkan pada saat awal pembentukan kalus.
Dari hasil uji lanjut dengan menggunakan metode jarak nyata (DNJ) 5% dapat dilihat bahwa perlakuan yang menunjukkan persentase berkalus paling rendah adalah pada perlakuan A6 yaitu Perkembangan hingga minggu ke 8 menunjukkan menghasilkan kalus sekitar 8% dari keseluruhan berat eksplan. Sedangkan persentase tertinggi ditunjukksn pada perlakuan A1.

4.4 Berat Kalus
Perkembangan pada minggu ke 8 berdasarkan analisis sidik ragam, setiap perlakuan mengalami perkembangan yang positif. Setiap eksplan yang pada hari ke 9-13 mengalami pembentukan kalus, pada minggu ke 8 kalus yang terbentuk sangat terlihat jelas. Walaupun setiap perlakuan menunjukkan berbeda nyata pada setiap perlakuan, akan tetapi setiap eksplan yang diinisiasi mampu memberi respon yang positif terhadap perlakuan yang diujikan, artinya setiap eksplan yang diinisiasi pada perlakuan yang diujikan mempu membentuk kalus. Berdasarkan teori totepotensi yaitu setiap sel organ tanaman akan mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika ditempatkan di lingkungan yang sesuai. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperbanyak tanaman dengan waktu yang lebih singkat (Gunawan, 2003).
Hasil analisis rerata pada tabel 4.4.2menunjukkan bahwa tiap-tiap perlakuan memiliki respon yang berbeda dalam perkembangan kalus. Bila dilihat dari pengamatan awal pembentukan kalus yang dilakukan pada minggu ke 2 setelah inisiasi, A1 menunjukkan perkembangan yang lebih pesat dibandingkan perlakuan yang lain. Pada awal pembentukan kalus (Tabel 4.1.2) lebih lambat dibandingkan A3, akan tetapi kalus yang dihasilkan lebih berat dibandingkan dengan yang lainnya.
Walaupun perlakuan A1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A3, akan tetapi hasil yang ditunjukkan pada perlakuan ini sangat terlihat berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain selain perlakuan misalnya klon. Menurut Zulkarnain, (2009) Setiap genotipe atau jaringan mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam media dan memiliki kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda.
Dari hasil analisis rerata dengan uji lanjut jarak nyata duncan (DNJ) 5% dapat dilihat perlakuan yang berbeda nyata adalah perlakuan A6 (perlakuan media MS dengan penambahan 2,4D 4 ppm), berbeda nyata dengan perlakuan A1 (media MS dengan penambahan 2 ppm IBA). berat kalus paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan A1 sedangkan A6 menunjukkan hasil berat kalus yang paling rendah yaitu 7 gram dari hasil rata-rata seluruh ulangan. silva dalam winarsih, (2009) yang menyatakan bahwa frekuensi pembentukan embriosomatik dipengaruhi oleh komposisi dan jenis zat pengatur tumbuh yang digunakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar