Minggu, 15 November 2009

perbaikan bibit kakao melalui kultur jaringan

TERBATASNYA bibit bermutu menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman kakao saat ini, yakni hanya 625 kilogram (kg) per hektar per tahun. Hal itu setara 32 persen dari potensi seharusnya sebesar 2.000 kg per hektar per tahun.
Untuk itu, diperlukan terobosan teknologi pembibitan kakao berkualitas untuk memenuhi kebutuhan yang kian besar dengan cara mengembangkan kultur jaringan atasi kebutuhan bibit kakau.
Demikian disampaikan Menteri Pertanian Anton Apriyantono saat meresmikan Laboratorium Teknologi Kultur Jaringan (somatyc embryogenesis/SE) untuk pembibitan kopi dan kakao, di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur, Sabtu (16/2).
Menurut Mentan, dari 992.000 hektar kebun kakao 87 persen dikelola oleh perkebunan rakyat, enam persen perkebunan milik negara, dan tujuh persen perkebunan milik swasta.
Indonesia merupakan negara pertama yang mengembangkan teknologi kultur jaringan (SE) di dunia untuk kakao, ujar Mentan.
Pemanfaatan teknologi kultur jaringan dalam pembibitan kakao diperlukan guna mempercepat penyediaan bibit kakao nasional. Pencanangan program revitalisasi perkebunan kakao telah memacu peningkatan kebutuhan bibit kakao hingga 75 juta bibit per tahun.
Jumlah itu terdiri dari 50 juta bibit untuk memenuhi kebutuhan program revialisasi 200.000 hektar dan 25 juta bibit untuk kebutuhan lain.
Revitalisasi 200.000 hektar perkebunan kakao, kata Mentan, dilakukan dengan cara bertahap hingga tahun 2010. Terdiri dari 54.000 hektar program peremajaan, 36.000 hektar rehabilitasi, dan 110.000 hektar perluasan areal tanaman.
Sementara, target revitalisasi terjadinya peningkatan nilai ekspor kakao sebesar 20 persen pertahun. Tahun lalu nilai ekspor kakao sekitar 500 juta dolar AS per tahun. Sentra produksi kakao adalah Jatim, Sumbar, Sulsel, Sulbar, Sultra, dan Sulteng, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.
Terkait revitalisasi perkebunan, pemerintah memfasilitasi dalam empat hal. Yaitu skema investasi, impor untuk keperluan barang modal dan industri, negosiasi untuk membuka pasar dunia bagi produk Indonesia, dan subsidi bunga kredit bagi petani. Subsidi diberikan agar petani mampu meremajakan tanaman tua dan memperluas areal tanam.
Kekurangan
Indonesia saat ini, sambung Mentan, masih kekurangan 23 juta benih kakao untuk mendukung pencapaian target pengembangan 200.000 hektar kakao hingga 2010 mendatang. Saat ini, benih yang tersedia hanya sebanyak 34 juta benih, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan 200.000 hektar dibutuhkan 57 juta benih kakao.
Deptan akan memproduksi benih unggul kakao melalui teknik kultur jaringan. Teknologi ini diharapkan dapat mendukung percepatan produksi benih unggul kakao.
Tahun ini Deptan akan merevitalisasi perkebunan kakao baik melalui perluasan maupun peremajaan dan rehabilitasi lahan, ujar Mentan. Luas lahan baru kakao tahun ini mencapai 29.000 hektar, sedangkan peremajaan dan rehabilitasi masing-masing 15.000 hektar dan 10.000 hektar.
Sementara untuk menunjang program revitalisasi perkebunan kakao tahun ini, lanjut Anton, Deptan menyediakan benih unggul kakao sebanyak satu juta benih. Benih yang siap disalurkan tersebut terdiri dari benih lokal dan benih kakao mulia.
Program revitalisasi mendesak dilakukan mengingat banyaknya lahan perkebunan kakao yang terlantar. Banyak tanaman kakao sudah tua, rusak, atau bukan berasal dari benih unggul.
Turunnya produksi kakao saat ini membuat posisi Indonesia sebagai produsen utama kakao dunia tergeser Pantai Gading dan Ghana.
Mengganasnya hama pengganggu kakao (PBK) menjadi penyebab utama tergesernya posisi Indonesia itu, disamping karena rendahnya produktivitas rata-rata nasional yang kurang dari 50 persen potensinya.
Kepala Puslit Kopi dan Kakao, Teguh Wahyu, menambahkan pengembangan laboratorium teknologi kultur jaringan menggunakan dana hibah Deptan tahun 2007 sebesar Rp9 miliar dan dilanjutkan dana hibah tahun 2008 sebesar Rp4 miliar. Untuk teknologinya, Deptan mendapatkan bantuan alih teknologi dari Pusat Litbang Nestle Perancis yang difasilitasi PT Nestle Indonesia.
Kepala Biro Riset Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Gede Wibawa, mengatakan teknologi ini tak hanya mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar. Namun juga menghasilkan bibit berkualitas tinggi berukuran seragam.
Menurutnya, perbanyakan tanaman kakao umumnya dilakukan secara generatif menggunakan benih dan vegetatif menggunakan setek, okulasi, dan sambung pucuk. Namun, hasilnya kualitas bibit umumnya rendah, ukuran tidak seragam, dan produktivitas rendah.
Dengan teknologi kultur jaringan, masalah pengadaan bibit berkualitas tinggi dan seragam secara cepat bisa diatasi. Tahun 2009 kapasitas produkti akan mencapai empat juta bibit kakao, kata Gede. (cr-1)