Jumat, 15 Mei 2009

masalah hutan indonesia

Laporan tentang Keadaan Hutan Indonesia ini adalah hasil karya ForestWatch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW). FWI mulai dibentukpada akhir tahun 1997 oleh 20 lembaga swadaya masyarakat untuk berperansebagai bagian dari masyarakat sipil yang mendorong percepatan prosesdemokratisasi, khususnya dalam hal alokasi dan pengelolaan sumber dayahutan di Indonesia. GFW diluncurkan pada tahun 1998 oleh World ResourcesInstitute (WRI) untuk bekerja bersama lembaga swadaya masyarakat dan parapemimpin lokal di negara-negara yang memiliki hutan di seluruh dunia.
Forest Watch Indonesia berupaya untuk mengembangkan kemampuan wargamasyarakat yang mandiri dalam hal mengumpulkan, mengolah danmenyebarluaskan data tentang hutan, peta-peta dan berbagai informasikebijakan yang relevan dengan apa yang sedang terjadi di hutan-hutanIndonesia dan di tengah masyarakat Indonesia yang hidupnya mengandalkanhutan. FWI merupakan organisasi jaringan pemantauan hutan independen yangterdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memilikikomitmen untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan diIndonesia.
Makalah tentang potret buram Hutan Indonesia :

Sabtu, 02 Mei 2009

Publikasi Karya Ilmiah Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc.


Jurnal
Seminar
Meeting
Sep
1
PRINSIP DASAR ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM USAHA PERHUTANAN RAKYAT
PRINSIP DASAR ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM USAHA PERHUTANAN RAKYAT
(Diterbitkan oleh Jurnal Hutan Rakyat Volume 1 Tahun 2003)
1. Pendahuluan
Banyak orang berpendapat bahwa kegagalan melakukan kegiatan pembangunan, terutama pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan masyarakat disebabkan oleh lemahnya kelembagaan yang ada dalam proses pembangunan tersebut. Secara teknis dan finansial kegiatan pembangunan tersebut nyaris tidak ada masalah, tetapi capaian keberhasilan masih rendah.
Keyakinan banyak orang tentang posisi strategis kelembagaan dalam suatu kegiatan memiliki dasar yang kuat. Dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang maka kelembagaan tidak menjadi penting, tetapi jika kegiatan tersebut dilakukan oleh banyak orang, banyak aktor, berdampak luas kepada sumberdaya alam, lingkungan sosial, dan apalagi sebuah gerakan sosial yang luas, maka diperlukan pengaturan, membangun tata nilai bersama, dan bahkan alat ukur keberhasilan yang diakui secara bersama-sama oleh semua pihak yang terlibat. Dalam situasi seperti itulah kita memerlukan kelembagaan guna mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu kita harus menyamakan persepsi terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan kelembagaan itu? Kemudian apa kaitan kelembagaan dengan program pengembangan Usaha Perhutanan Rakyat (UPR) yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan?
Kelembagaan dimaknai sebagai satu kumpulan nilai, norma, peraturan dalam suatu kumpulan orang, yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak semua organisasi akan memiliki sistem kelembagaan yang sama, tetapi masing-masing organisasi akan memiliki sistem kelembagaannya sendiri sesuai dengan kharakteristik kegiatannya. Oleh karena itu untuk kesesuaian sistem kelembagaan tersebut diperlukan suatu analisis tentang kelembagaan (institutional analysis). Jika persoalannya terkait dengan strategi pengembangan UPR, maka analisis kelembagaan diarahkan kepada model-model kelembagaan seperti apa yang sesuai dengan kharakteristik UPR tersebut. UPR adalah semua kegiatan kehutanan yang terkait dengan usaha pengembangan masyarakat , pengembangan ekonomi kerakyatan, namun tetap mempertahankan dan menjamin kelestarian sumberdaya alam. Beberapa kegiatan dalam lingkup UPR antara lain: pembangunan hutan rakyat melalui proyek penghijauan dan swadaya masyarakat, pengembangan lebah madu, pengembangan sutra alam, usaha-usaha konservasi, pangan dalam hutan, pengembangan hutan adat, dan lain-lain.
Analisis kelembagaan untuk UPR adalah upaya untuk memahami insentif yang memotivasi tingkah laku manusia / masyarakat / kelompok masyarakat pada satu tempat tertentu, waktu tertentu, dan dampak dari tingkah laku tersebut pada kontek sumberdaya alam hutan. Semua itu melalui analisis insentif, pilihan-pilihan, dan outcome.
2. Kerangka Pendekatan Sistematik Kajian Kelembagaan UPR
Seperti disebutkan di atas bahwa untuk analisis sistematik kelembagaan UPR dilakukan melalui analisis tentang insentif, pilihan-pilihan, dan otcome (hasil manfaat).
2.1. Insentif dalam Kegiatan UPR
Insentif adalah sesuatu yang membuat seseorang ingin melakukan hal tertentu. Uang dapat merupakan suatu insentif, misalnya dalam hal sebuah proyek dapat membayar orang untuk kegiatan penanaman pohon. Rasa takut kepada pelanggaran atas pesan-pesan nenek moyang supaya melestarikan sumberdaya hutan, sehingga anak cucunya tidak merusak hutan merupakan insentif. Strategi peningkatan pendapatan keluarga melalui penanaman pohon di atas lahan pertanian. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa katagori insentif itu dapat menempati pemaknaan yang luas dengan ragam bentuk yang bermacam-macam. Kompleksitas insentif ini sangat ditentukan oleh kondisi individu dan komunitas, utamanya dalam bentuk interaksi mereka dengan lingkungan di sekitar mereka.
Salah satu bagian dari analisis kelembagaan UPR adalah tentang apakah ada insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan UPR dan dari mana sumber-sumber insentif tersebut diperoleh. Dalam kontek UPR ini ini insentif lebih baik dimengerti melalui pemecahan masalah dan mempertimbangkan 3 jenis insentif yang sering dihadapi oleh masyarakat pelaku program UPR: (1) insentif terkait dengan kharakteristik sumberdaya. Misalnya sumberdaya permodalan dalam bentuk KREDIT USAHA ; (2) insentif terkait dengan kharakteristik masyarakat; dan (3) insentif terkait dengan kharakteristik peraturan (rules) dimana masyarakat tersebut eksis.
Sebagai contoh sederhana dari 3 jenis insentif tersebut adalah model kemitraan antara pegusaha industri kayu dengan petani peserta program pembangunan hutan rakyat untuk jenis JATI SUPER yang diiming-imingi dengan analisis pendapatan yang besar dalam jangka waktu 10-15 tahun, atau jenis sengon yang dalam waktu 5-6 tahun sudah menghasilkan pendapatan yang besar. Dengan kharakteristik masyarakat masrginal (kritis ekonomi) maka tawaran HASIL YANG BESAR pasti merupakan insentif yang sangat memotivasi rakyat mengikuti program penanaman pohon jati atau sengon di lahan milik mereka. Rakyat miskin, lahan kritis, dan tanaman cepat tumbuh merupakan insentif dalam pengembangan UPR hutan rakyat. Insentif ini pula yang menyebabkan masyarakat dan organisasinya melakukan proteksi atas tanaman jati super dan sengon. Hal yang sama dapat dianalisis untuk program usaha persutraan alam, lebah madu, hasil hutan non kayu dalam hutan adat, dan lain-lain. Namun sebaliknya dapat terjadi sesuatu akan menjadi disinsentif tehadap program UPR, misalnya saja berkaitan dengan ketidakjelasan status lahan dimana kegiatan UPR dilaksanakan. Kasus konflik lahan negara dan lahan adat meluas saat ini di Indonesia. Apabila kegiatan UPR dilaksanakan di atas lahan yang tenurialnya konflikting dan tidak jelas, maka hal ini dapat menjadi faktor disinsentif dalam UPR.
2.2. Pilihan-Pilihan
Maksud dari analisis pilihan-pilihan ini adalah untuk memberikan peluang kepada peserta program UPR melakukan pilihan jenis kegiatan yang diinginkan setelah disinergikan dengan ragam masukan dan pertimbangan insentif yang ada. Misalnya dalam kaitan dengan memilih kegiatan pengembangan usaha lebah madu dan persutraan alam harus memperhatikan sumnberpakan lebah dan sumber pakan ulat (daun murbai). Apabila sumber pakannya sulit dan sukar dikembangkan karena lahannya karitis dan tidak mungkin ditanami tanaman murbei dan tanaman penghasil bunga-bunga, maka usaha lebah madu dan sutra alam tidak dapat dilanjutkan. Artinya bahwa kendatipun insentif dana ada, tetapi pengembangan sutra alam dan lebah madu tidak dapat dipilih sebagai bentuk kegiatan kelembagaan UPR. Pada kontek hutan adat atau sistem hutan kerakyatan (SHK) yang berbasis pendekatan komunal, analisis pilihan-pilihan tersebut menjadi penting.
2.3. Outcome (hasil manfaat) Program UPR
Di dalam outcome pengembangan UPR , pertanyaan mengenai apa dampak dari semua pengambilan keputusan tentang pilihan program UPR pada sumberdaya hutannya, hasil sutra alam, lebah madu, hasil hutan non kayu, dan kayu hutan rakyat, serta dampak pada komunitas peserta program, perlu mendapat penjelasan.
Untuk memnjawab pertanyaan dampak tersebut, maka ada banyak kriteria dapat digunakan untuk menilai dampak sebagai akibat dari struktur insentif terhadap sumberdaya hutannya dan anggota peserta program, yaitu antara lain:
(1) Efisiensi dari bagaimana sumberdaya UPR digunakan: apakah sumberdaya sudah digunakan sesuai dengan potensi maksimumnya? Apakah ada penggunaan yang menimbulkan dampak sisa (waste?)
(2) Pemerataan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya: apakah anda hak-hak istimewa yang diberikan kepada beberapa orang dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya dalam pengembangan UPR? Apakah aspek keadilan antar generasi dipertimbangkan? Apa yang menjadi basis penilaian dari diskriminasi dalam mengakses sumberdaya? Apakah sistem yang diterapkan cukup terbuka dan berkeadilan (Fair)?
(3) Sustensi (keberlanjutan) penggunaan sumberdaya: dapatkah pola penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam lahan yang digunakan tersebut berlanjut sampai jangka panjang? Apakah sistem regenerasi sumberdaya alamnya dapat dijamin? Dan
(4) Biodiversitas dan pengawetan jenis: apakah strategi UPR akan diarahkan pada model monokultur atau polikultur? Akan adakah jenis yang dominan dikembangkan dalam program?
Pada bagian analisis kelembagaan yang berkaitan dengan outcome program UPR, langkah penting yang harus dilakukan oleh profesional rimbawan bersama masyarakat adalah membangun KOMUNIKASI antar pihak (masyarakat, LSM, Pemerintah, Perguruan Tinggi). Artinya outcome harus didasarkan pada penilaian yang diberikan oleh anggota masyarakat / anggota kelompok peserta program UPR, dan mendapat dukungan dari pihak lainnya.
Dalam melaksanakan analisis kelembagaan, kharateristik di atas (sumberdaya, masyarakat, dan peraturan) jangan dibaca secara lepas-lepas, sendiri-sendiri, tetapi ketiganya harus dibaca dalam satu kesatuan sistem yang saling berintrekasi satu sama lain. Bahkan dari ketiganya menghasilkan proses analisis insentif, pilihan-pilihan, dan hasil manfaat (outcome). Interaksi ketiga kharakteristik tersebut dalam kontek strategi pengembangan UPR dapat dilihat dalam skema di bawah ini.
Skema Interaksi antara Kharakteristik Sumberdaya, Komunitas, Peraturan, Insentif, Pilihan, dan Hasil Manfaat
(sumber: modifikasi dari Thomson and Freudenberger, 1997)
3. Proses Analisis Kelembagaan UPR
Maksud dari analisis kelembagaan UPR adalah untuk mengetahui secara pasti model kelembagaan UPR seperti apa yang sesuai dengan bentuk-bentuk usaha (hutan rakyat, lebah madu, hutan adat, SHK, persutraan alam, dll), termasuk di dalamnya adalah model kemitraan yang mungkin dikembangkan. Oleh karena itu para pengambil keputusan baik di Departemen Kehutanan maupun di instansi kehutanan yang ada di daerah-daerah perlu memahami proses penetapan model kelembagaan UPR yang dilakukan secara partisipatif. Pedoman umum proses melakukan analisis kelembagaan UPR adalah sebagai berikut:
(1) Menetapkan dan mengidentifikasi masyarakat yang terlibat dalam program UPR
Dalam analisis kelembagaan ini kegiatan seleksi dan identifikasi siapa masyarakat yang terlibat dalam kegiatan UPR merupakan langkah awal yang harus dilakukan di dalam program UPR. Penetapan peserta program UPR hendaknya mempertimbang kan dan memprioritaskan masyarakat yang kurang mampu, sehingga tujuan peningkatan kesejahteraan dapat tercapai. Potensi dari masyarakat untuk mendukung UPR juga harus mendapat perhatian yang serius, bukan potensi yang didesain oleh orang yang berada di luar masyarakat.
(2) Membuat identifikasi awal masalah
Antara penetapan masyarakat peserta program UPR harus ada kaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka. Dalam banyak kasus dapat diidentifikasi bahwa keberhasilan kegiatan pengembangan kelembagaan hanya dapat dicapai jika dimulai dengan memahami persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat tersebut, dan mencoba menarik masalah tersebut pada kontek yang lebih luas. Masalah umum dalam masyarakat biasanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, peningkatan produksi, dan apa yang akan diproduksi yang sesuai dengan permintaan pasar. Problematika dalam masyarakat ini dapat diselesaikan melalui kerja kolaboratif dengan pihak-pihak yang berada di luar komunitas masyarakat.
(3) Membuat identifikasi awal tentang Stakeholders yang berkaitan dengan Masalah
Masalah masyarakat sering kali hanya dirasakan oleh masyarakat saja, sehingga mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk keluar dari masalah tersebut. Cara seperti ini sudah harus ditinggalkan. Pilihan yang dianggap baik saat ini adalah melakukan kajian terhadap institusi dan aktor mana saja yang terkait dengan permasalahan masyarakat untuk mengembangkan program UPR. Oleh karena itu pelibatan orang luar dalam program UPR juga ada baiknya, seperti pemerintah desa, staf Dinas Kehutanan, personal proyek, dan lain-lain.
(4) memantapkan proses kajian dan berkolaborasi dengan pemimpin masyarakat, aktivis lokal, stakeholders dan anggota masyarakat lainnya yang terkait
Kajian kelembagaan UPR dianjurkan menggunakan model Participatory Rural Appraisal (PRA), karena model ini dianggap sesuai untuk kerja kolaboratif, reflektif, dan mampu mengambil langkah penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam aspek perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, kelompok masyarakat menjadi aktor yang sangat penting, dan mereka harus ikut menetapkan model dan cara monitoring dan evaluasi di dalam program UPR.
4. Penutup
Uraian di atas merupakan dasar-dasar yang harus dipahami oleh pihak pemerintah, LSM, masyarakat, apabila ingin mengembangkan satu model kelembagaan UPR apapun bentuk usaha ekonomi yang akan diambil (hutan rakyat, usaha lebah madu, usaha ulat sutra, usaha cadangan pangan, dan lain-lain). Bentuk kelembagaan tidak dapat ditentukan oleh pemerintah pusat, tetapi harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan dari tipikal UPR. Oleh karena itu dalam setiap pengembangan UPR, kelembagaannya dibangun dan ditetapkan atas dasar kajian yang dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat, dan jika diperlukan dapat difasilitasi oleh LSM atau Perguruan Tinggi. Persoalan efisiensi sumberdaya dalam UPR, peningkatan kualitas SDM pengelola program UPR, dan keberlanjutan program UPR merupakan unsur kelembagaan yang sangat penting untuk diperhatikan. Semoga paper singkat ini bermanfaat bagi pelaksana program UPR di Jakarta dan di daerah-daerah.
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. 
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga  tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. 
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1)    Pembuatan media
2)    Inisiasi
3)    Sterilisasi
4)    Multiplikasi
5)    Pengakaran
6)    Aklimatisasi
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.  Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon.  Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.  Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.  Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.  Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. 
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan.  Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.  
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan.  Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik.  Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri). 
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. 
Keunggulan inilah yang menarik bagi produsen bibit untuk mulai mengembangkan usaha kultur jaringan ini. Saat ini sudah terdapat beberapa tanaman kehutanan yang dikembangbiakkan dengan teknik kultur jaringan, antara lain adalah: jati, sengon, akasia, dll.
Bibit hasil kultur jaringan yang ditanam di beberapa areal menunjukkan pertumbuhan yang baik, bahkan jati hasil kultur jaringan yang sering disebut dengan jati emas dapat dipanen dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan tanaman jati yang berasal dari benih generatif, terlepas dari kualitas kayunya yang belum teruji di Indonesia. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha karena akan memperoleh hasil yang lebih cepat. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan tanaman yang lebih cepat maka lahan-lahan yang kosong dapat c
KEUNTUNGAN PEMANFAATAN
KULTUR JARINGAN
¨ Pengadaan bibit tidak tergantung musim
¨ Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak
dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari
satu mata tunas yang sudah respon dalam 1
tahun dapat dihasilkan minimal 10.000
planlet/bibit)
¨ Bibit yang dihasilkan seragam
¨ Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (meng
gunakan organ tertentu)
¨ Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah
dan mudah
¨ Dalam proses pembibitan bebas dari gang
guan hama, penyakit, dan deraan lingkungan
lainnya
KULTUR jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh
menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas).
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan
tanaman yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama
atau seragam dengan induknya. Contoh tanaman yang sudah lazim
diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman anggrek.
 Kola Lemahkan Tulang

BOSTON – Konsumsi senyawa kola yang berlebihan pada tubuh, menurut penelitian baru-baru ini, membuat tulang manusia, terutama wanita menjadi makin lemah.
Hasil tersebut ditemukan oleh Dr. Katherine L. Tucker dari Universitas Boston, yang melakukan studi korelasi kelemahan tulang pada 2500 peminum kola, yang dilangsir kantor berita AP awal minggu ini.
Pada penelitiannya tersebut, Dr. Katherine menemukan bahwa peminum kola, memiliki tingkat kekuatan tulang lebih rendah daripada orang yang tidak meminum kola. “Tingkat kekuatan tulang dikenal dengan istilah BMD atau Bone Mineral Density, yang mempengaruhi berbagai masalah kerapuhan tulan,” paparnya.
“Karena kola merupakan salah satu minuman terpopuler yang ada saat ini. Hasil penelitian ini seharusnya diumumkan secara luas, karena berpengaruh pada taraf kesehatan kita,” urainya, pada artikel yang telah dimuat di bulan Oktober ini di Jurnal Klinik Nutrisi Amerika.
Penelitian ini juga menunjukan kebanyakan peminum kola perempuan memiliki tingkat kerapuhan tulan lebih besar. Dalam catatannya, menurut Dr. Katherine hal ini dimungkinkan karena banyak wanita lebih banyak meminum susu, namun banyak meminum soda pada kola.
Fenomena ini dijelaskan oleh Dr. Katherine dikarenakan kola mengandung zat bernama phosporic acid. Zat tersebut menyerap fungsi kalsium yang telah masuk dalam tubuh sehingga mineral yang ada dalam kalsium, yang seharusnya dapat membantu proses penguatan tulang menjadi hilang.
“Sayangnya baru sekarang ada bukti kuat, yang menyatakan zat berkarbonasi seperti kola, ternyata sangat berpengaruh pada tulang,” tambah Katherine. Sementara itu, pada kaum lelaki, lebih sedikit efek perapuhan tulang yang dikarenakan konsumsi kola. (slg)
 
 
 
Bioteknologi
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, jamur, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidang pertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan. Di bidang medis, penerapan bioteknologi di masa lalu dibuktikan antara lain dengan penemuan vaksin, antibiotik, dan insulin walaupun masih dalam jumlah yang terbatas akibat proses fermentasi yang tidak sempurna. Perubahan signifikan terjadi setelah penemuan bioreaktor oleh Louis Pasteur. Dengan alat ini, produksi antibiotik maupun vaksin dapat dilakukan secara massal.
Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, rekombinan DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun AIDS. Penelitian di bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan para penderita stroke ataupun penyakit lain yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh seperti sediakala. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan dan rekombinan DNA, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta juga lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan. Penerapan bioteknologi di masa ini juga dapat dijumpai pada pelestarian lingkungan hidup dari polusi. Sebagai contoh, pada penguraian minyak bumi yang tertumpah ke laut oleh bakteri, dan penguraian zat-zat yang bersifat toksik (racun) di sungai atau laut dengan menggunakan bakteri jenis baru.
Kemajuan di bidang bioteknologi tak lepas dari berbagai kontroversi yang melingkupi perkembangan teknologinya. Sebagai contoh, teknologi kloning dan rekayasa genetika terhadap tanaman pangan mendapat kecaman dari bermacam-macam golongan.
 
Strategi baru untuk melestarikan hutan tropis
Pergeseran alasan penggundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan memiliki implikasi penting bagi pelestarian.

Dalam jangka waktu hanya 1-2 dekade, sifat dari perusakan hutan tropis telah berubah. TIdak lagi didominasi oleh petani desa, kini penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui pengumpulan kayu, penambangan minyak, pengembangan minyak dan gas, pertanian skala bear, dan perkebunan pepohonan eksotis yang menjadi sebab-sebab paling sering dari hilangnya hutan. Walau mempengaruhi tantangan serius, perubahan seperti ini juga menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi pelestarian hutan. Menurut kami, dengan lebih mengarahkan target kampanye masyarakat pada korporasi-korporasi dan kelompok-kelompok dagang yang strategis, kepentingan pelestarian bisa saja memberikan pengaruh yang lebih kuat pada nasib hutan tropis.

Pendahuluan

Hutan tropis, secara biologis, merupakan ekosistem terkaya di bumi dan berperan penting dalam hidrologi regional, penyimpanan karbon, dan iklim global [1,2]. Namun perusakan hutan tropis dengan cepat terus berlanjut, dengan sekitar 13 juta hektar hutan dihabisi setiap tahunnya [3]. Walau angka ini tidak berubah secara mencolok di dekade-dekade terakhir ini, dasar dari penggerak penggundulan hutan sedang bergeser – dari kebanyakan penggundulan hutan yang digerakkan oleh kebutuhan hidup di tahun 1960an-1980an, ke lebih banyak penggundulan hutan yang digerakkan oleh industri akhir-akhir ini [4-6]. Tren ini, kami tegaskan, memiliki implikasi kunci untuk pelestarian hutan.

Dari tahun 1960an-1980an, penggundulan hutan tropis ditiupkan secara luas oleh kebijakan-kebijakan pemerintah untuk pengembangan pedesaan, yang mencakup peminjaman untuk pertanian, pajak insentif, dan konstruksi jalanan, bersamaan dengan pertumbuhan populasi yang cepat di banyak negara berkembang [4-6]. Inisiatif-inisiatif ini, terutama terlihat di negara-negara seperti Brazil dan Indonesia, mendorong munculnya gelombang arus yang dramatis para penduduk ke daerah perbatasan dan sering kali menyebabkan kerusakan hutan secara cepat. Dugaan bahwa para petani skala kecil dan peladang yang berpindah-pindah bertanggungjawab pada hilangnya hutan kebanyakan [7] mengarah pada sebuah pendekatan konservasi seperti Integrated Conservation and Development Projects (ICDP), yang berusaha menghubungkan konservasi alam dengan pembangunan desa yang berkelanjutan [8]. Bagaimanapun juga, sekarang ini banyak yang percaya bahwa ICDP telah sering gagal akibat kelemahan pada perencanaan dan implementasi, dan karena masyarakat lokal biasa menggunakan dana ICDP untuk meningkatkan pendapatan mereka, bukan untuk mengganti keuntungan yang telah mereka dapatkan dari mengeksploitasi alam [9-23].




Small-holder deforestation in Suriname (top) and Borneo (bottom)
Baru-baru ini, pengaruh kuat langsung dari masyarakat pedesaan pada hutan tropis tampaknya telah stabil dan bahkan telah berkurang di beberapa wilayah. Walau banyak negara tropis masih memiliki pertumbuhan populasi yang tinggi, tren urbanisasi yang kuat di negara berkembang (kecuali di Sub-Saharan Afrika) menunjukkan bahwa populasi di pedasaan tumbuh dengan lebih lambat, dan di beberapa negara mulai menurun (Figur 1) [14, 15]. Popularitas program perpindahan penduduk ke perbatasan skala besar telah pula menyusut di beberapa negara [5, 16, 17]. Jika tren seperti itu berlanjut, mereka mungkin meringankan tekanan pada hutan dari kegiatan pertanian skala kecil, berburu, dan mengumpulkan kayu bakar [18].

Pada saat yang bersamaan, pasar finansial yang telah terglobalisasi dan tingginya komoditas dunia menciptakan sebuah lingkungan yang amat menarik bagi sektor swasta [5, 6]. Sebagai hasil, industri penebangan kayu, penambangan, pengembangan minyak dan gas, dan terutama pertanian skala besar semakin muncul sebagai penyebab dominan dari kerusakan hutan tropis [6, 19-22]. Di Amazonia Brazil, contohnya, pertanian skala besar telah meledak, dengan jumlah hewan ternak yang meningkat lebih dari 3 kali lipat (dari 22 ke 74 juta kepala) sejak 1990 [23], sementara industry penebangan kayu dan pertanian kedelai juga telah tumbuh dengan dramatis [24, 25]. Gelombang permintaan akan padi-padian dan minyak yang dapat dikonsumsi, didorong oleh kebutuhan dunia akan biofuel dan kenaikan standar hidup di negara-negara berkembang, membantu memacu tren ini [19, 26, 27].

Walaupun kita dan yang lain khawatir dengan bangkitnya penggundulan hutan skala industri (figure 2), kami berpendapat bahwa itu juga merupakan tanda munculnya kesempatan untuk perlindungan dan manajemen hutan. Daripada berusaha mempengaruhi ratusan juta penduduk hutan di daerah tropis – sebuah tantangan yang mengecilkan hati, paling baik – pendukung pelestarian sekarang bisa memfokuskan perhatian mereka pada jumlah korporasi pengeksploitasi sumber yang jauh lebih kecil. Banyak dari mereka adalah perusahaan multinasional atau perusahaan domestik yang mencari akses ke pasar internasional [6, 19-22], yang mendorong mereka untuk menunjukkan beberapa sensitifitas terhadap masalah-masalah lingkungan yang tumbuh kepada konsumen global dan pemegang saham. Saat mereka em, korporasi seperti itu menjadi cukup lemah untuk diserang citra publiknya.

Melawan Korporasi

Saat ini, beberapa korporasi dapat dengan mudah mengabaikan lingkungan. Kelompok-kelompok konservasi pun belajar untuk menarget perusahaan-perusahaan yang melanggar, memobilisasi dukungan melalui boikot konsumen dan kampanye kesadaran publik. Sebagai contoh, mengikuti sebuah usaha pemberantasan yang intens dari masyarakat, Greenpeace baru-baru ini menekan penghancur kedelai terbesar di Amazonia untuk melaksanakan sebuah proses penangguhan pada pengolahan kedelai, menunda pengembangan dari sebuah mekanisme pelacakan untuk memastikan hasil panen mereka datang dari produsen-produsen yang bertanggungjawab pada lingkungan [28]. Boikot sebelumnya oleh Rainforest Action Network (RAN) mendorong beberapa rantai retail utama di AS, termasuk Home Depot dan Lowe’s, untuk mengubah kebijakan belanja mereka untuk menyokong produk-produk kayu yang lebih mendukung [29]. Di bawah ancaman dari publisitas negative, RAN bahkan telah meyakinkan beberapa perusahaan-perusahaan finansial terbesar di dunia, termasuk Goldman Sachs, JP Morgan Chase, Citigroup dan Bank of America, untuk memodifikasi praktek-praktek peminjaman dan pembiayaan untuk proyek-proyek kehutanan [30].




Tren akhir-akhir ini membuat para kelompok konservasi lebih mudah untuk menguasai industri-industri pengeksploitasi sumber alam. Berkat skala ekonomi, korporasi multinasional kerap menemukan bahwa lebih efisien untuk mengkonsentrasikan kegiatan mereka pada beberapa negara besar, karena mengurangi jumlah dari wilayah geografis yang diawasi dengan aktif oleh kelompok-kelompok konservasi. Lebih lagi, banyak industri, yang termotivasi oleh ketakutan akan publisitas negatif, mendirikan koalisi yang mengaku mendukung keberlangsungan lingkungan sesama anggota mereka. Contoh dari kelompok industri seperti ini termasuk AliancĂ‚¸a da Terra untuk para peternak di Amazonia [31], Roundtable on Sustainable Palm Oil di Asia Tenggara, dan Forest Stewardship Council untuk industri kayu global. Karenanya, daripada menargetkan ratusan korporasi yang berbeda, para penggiat konservasi dapat menciptakan dampak besar dengan hanya menyerang beberapa titik tekanan industri.

Korporasi juga dikuasai oleh wortel dan tongkat. Perusahaan yang membeli keberlangsungan, menikmati pertumbuhan menjadi pilihan konsumen dan harga-harga premium untuk produk ramah lingkungan mereka. Menurut sumber-sumber industri [32], sebagai contoh, produk kayu 'hijau’ – yang diproduksi dengan cara yang bersahabat bagi lingkungan – tercatat penjualan sebesar $7,4 milyar di Amerika Serikat di tahun 2005, dan diharapkan akan tumbuh hingga $38 milyar pada tahun 2010. Penghargaan seperti ini mungkin mendapat pengaruh yang lebih besar pada korporasi multinasional, yang harus berusaha menjaga konsumen dan pemegang saham internasional mereka senang, daripada pada perusahaan lokal yang bekerja sendirian di negara-negara berkembang [33].

Tantangan baru

Meningkatnya pengaruh kuat para perusahaan penggundul hutan juga memiliki sisi lemah. Industrialisasi dapat mempercepat kerusakan hutan, dengan hutan yang dulunya dipangkas secara langsung oleh petani-petani skala kecil saat ini dengan cepat dilindas oleh bulldozer. Lebih lagi, aktifitas industri seperti penebangan, penambangan, pengembangan minyak dan gas mendukung penggundulan hutan, tak hanya secara langsung tapi juga tak langsung, dengan menciptakan daya dorong ekonomi yang amat kuat untuk pembangunan jalan-hutan. Setelah terbangun, jalan-jalan ini dapat melepaskan berbagai invasi hutan yang tak terkontrol oleh para penduduk, pemburu, dan makelar tanah [20, 21, 24].

Masalah utama lain adalah tak semua pasar merespon pada prioritas lingkungan. Di banyak negara berkembang, kekhawatiran lingkungan terkubur oleh meningkatnya permintaan dari kelas menengah yang sedang tumbuh. Sebagai contoh, konsumen Asia sejauh ini menunjukkan sedikit ketertarikan pada produk-produk kayu yang memiliki sertifikat lingkungan [34], tidak seperti konsumen di Amerika Utara dan terutama Eropa. Lebih lagi, saat harga untuk material mentah membumbung tinggi, sebuah perebutan akan sumber alam dapat terjadi, membuat kelangsungan lingkungan hanya sebuah pikiran belaka dibandingkan permintaan yang meningkat.

Akhirnya, bahkan berlimpahnya konsumen yang sadar lingkungan tak dapat menjamin tingkah laku yang baik dari sebuah perusahaan (lihat Box 1). Banyak korporasi telah dituduh ‘greenwashing’ – berpura-pura memproduksi produk hijau yang sebenarnya hanya memiliki keuntungan kecil bagi lingkungan. Di industri kayu tropis, sebagai contoh, beberapa kelompok meragukan, yang disponsori oleh industri, telah berusaha untuk berkompetisi dengan badan-badan sertifikasi lingkungan legal seperti Forest Stewardship Council [35]. Melacak produk-produk dari hutan ke konsumen terakhir – melalui rantai perantara, manufaktur dan penjual retail – dapat menjadi sangat sulit. Sebagai contoh, Greenpeace [36] baru-baru ini mengungkapkan bahwa raksasa makanan seperti Nestle, Procter and Gamble, dan Unilever menggunakan minyak kelapa yang ditanam di lahan-lahan yang baru saja gundul, meski ada jaminan sebaliknya dari Roundtable on Sustainable Palm Oil. Kerumitan seperti itu memberikan penghargaan pada mereka yang curang dan menghilangkan keuntungan bagi korporasi yang melakukan usaha-usaha baik mendukung keberlangsungan tersebut.

Masa depan




Thomaz W. Mendoza-Harrell
Meskipun ada kerumitan seperti itu, para penggiat konservasi harus belajar untuk menghadapi perusahaan-perusahaan penggerak penggundulan hutan tropis dengan lebih efektif dan bertenaga. Penggerak-penggerak seperti ini di masa depan pasti akan meningkat karena aktifitas industri global diramalkan akan berkembang hingga 300-600% pada tahun 2050, dengan banyaknya negara berkembang [37]. Untuk mereka, sebuah peningkatan angka pada perusahaan menyadarkan bahwa keberlangsungan lingkungan hanyalah sebuah bisnis yang bagus. Dari tren seperti itu, kami melihat banyak dibutuhkan dialog dan debat antara kepentingan industri, keilmuan, dan konservasi di wilayah tropis. Selain dari pengaruh kelompok-kelompok lingkungan, pengaruh kuat dari industri juga akan ditengahi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan perjanjian internasional, seperti UN Framework Convention on Climate Change and the Convention on Biological Diversity. Sebagai contoh, subsidi pemerintah secara besar-besaran untuk ethanol jagung saat ini menciptakan distorsi pasar yang mendukung penggundulan hutan di Amazon [23], yang mana sebenarnya pertukaran karbon internasional pada akhirnya dapat memperlambat kerusakan hutan di beberapa negara tertentu [38, 39]. Karena kebijakan-kebijakan seperti itu dapat berubah secara cepat dan memiliki pengaruh yang luas, para penggiat konservasi mengabaikan mereka atas resiko sendiri.

Perubahan ada di kita. Pada satu sisi, globalisasi dan industri pertanian yang cepat, penebangan, penambangan dan pembuatan biofuel muncul sebagai penggerak dominan dari penggundulan hutan. Di sisi lain, pertumbuhan kepedulian publik mengenai keberlangsungan lingkungan menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi perlindungan hutan. Dengan menargetkan industri-industri strategis dengan kampanye pendidikan bagi konsumen, kepentingan pelestarian dapat memperoleh senjata baru yang kuat dalam pertempuran untuk memperlambat perusakan hutan.

Ucapan terima kasih

Kami ucapkan terima kasih pada Thomas Rudel, Robert Ewers, Susan Laurance, Katja Bargum dan tiga referee anonim untuk komentar-komentarnya yang amat membantu.

Tantangan untuk sertifikasi ekologi

Di wilayah tropis, sama seperti di wilayah lain, skema sertifikasi ekologi menghadapi beberapa rintangan tinggi. Bahkan saat para pelanggan memilih produk-produk ramah lingkungan, sertifikasi ekologi ini dapat terhambat oleh korupsi dan pemerintahan yang lemah, ukuran tidak efektif untuk memastikan keberlangsungan lingkungan dan bocornya produk-produk tidak bersertifikat ke pasar.

Sebagai contoh, Forest Stewardship Council (FSC), yang kerap dilihat sebagai standar emas untuk sertifikasi produk-produk kayu, mendapatkan kritik besar-besaran dari beberapa kelompok lingkungan [40]. Para pengkritik mengungkapkan bahwa sertifikasi FSC pada produk dari ‘sumber campuran’, seperti furnitur yang hanya sebagian bahannya berasal dari kayu bersertifikat, merusak kredibilitasnya. Sertifikasi pada beberapa skema kayu yang meragukan, seperti perkebunan monokultur di lahan-lahan bekas hutan, juga merusak label [40]. Tahun lalu, sebuah penyelidikan dari Wall Street Journal memaksa FSC untuk secara efektif mencabut sertifikasi dari Asia Pulp and Paper Company yang berkantor di Singapura karena melakukan kegiatan yang merusak lingkungan di Pulau Sumatra, Indonesia [41].

Korupsi dan penggelapan juga termasuk dalam kekhawatiran. Berkolaborasi dengan petugas yang korup, bisa membuat beberapa perusahaan memperoleh sertifikasi yang tidak benar atas produk mereka, dimana sebuah perusahaan bisa mengaku memiliki sertifikasi padahal mereka tidak memilikinya. Sebuah laporan baru-baru ini tentang penebangan ilegal di Asia Tenggara, contohnya, menguak bahwa paling tidak dua perusahaan furnitur besar memasarkan produk-produk bersertifikasi ekologi padahal mereka tidak memiliki label tersebut [42].

Tantangan lain adalah mengevaluasi dengan benar berbagai aktifitas perusahaan kayu internasional. Para penyertifikasi ekologi telah dituduh terlalu menyempitkan fokus pada operasidi dalam pusat wilayah konservasi dan mengabaikan operasi perusakan di daerah lain [40]. Sebagai tambahan, perusahaan kayu seringkali membeli kayu dari bermacam-macam sumber dan sub-kontrak ke perusahaan lain, dan itu bisa menjadi sangat sulit untuk ditentukan apakah cabang-cabang dan rekan-rekan mereka tersebut terkait pada penebangan yang merusak [36].

Di akhir, beberapa kritik berpendapat bahwa operasi kayu yang bersertifikasi ekologi jarang sekali memiliki dampak berkelanjutan pada jangka waktu yang panjang. Penebangan yang berulang-ulang di hutan yang pertumbuhannya lama dapat mengurangi stok karbon dan menurunkan habitat untuk spesialisasi hutan, karenanya mengancam keanekaragaman hayati [1]. Lebih jauh, hutan yang ditebangi jauh lebih mudah mengering, terbakar, dan gundul dibandingkan dengan daerah yang tidak ditebangi [24, 43].


Indonesia: Profil Lingkungan


Menyelamatkan Orangutan di Borneo


Kenapa kelapa sawit menggantikan hutan hujan?


Kebakaran hutan sebagai hasil dari kegagalan pemerintah di Indonesia

Minyak Kelapa Tidak Harus Buruk Bagi Lingkungan


Borneo: Profil Lingkungan


Kredit karbon


Dapatkah konservasi lahan gambut jadi lebih menguntungkan

Apakah industri minyak kelapa menyesatkan masyarakat?


Strategi baru untuk melestarikan hutan tropis




Konferensi yang mampu berlanjut mengungkap celah di Dewan Minyak Kelapa Malaysia
Cara untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon
Ancaman terhadap hutan hujan Amazon di masa depan
Separuh dari ekspansi kelapa sawit di Malaysia, Indonesia terjadi dengan hutan sebagai korban
Boikot minyak kelapa: sebuah pendekatan tidak realistis untuk konservasi keragaman hayati


Oleh Rhett A. Butler. Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Indie (www.trulyjogja.com).






Indonesia | Tentang situs ini | Foto | Inggris | PDF

©2008 Rhett Butler